Sepakat
para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita
adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami
al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha
telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala
negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita
menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadist shahih
yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang
wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam
hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk
pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan
komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan
putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun
teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam
hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman
tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya
tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat
wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada
sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah
seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya
lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus
perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah
sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang
yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat
Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah
seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari
segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang
larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping
itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara
tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan
presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden
bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam.
Pendapat seperti ini sangatlah lemah.
Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran,
putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang
tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah
mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama
bukan sistem pemerintahan Islam?
Kedua, di dalam al-Quran
terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59'
Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz
"ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti
bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki.
Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan
kata "uulatul umri".
Ketiga, didalam al-Quran
terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa
34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan
laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan
persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula"
(keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus
menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah
bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur
urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki
sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih
besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam sejarah pemerintahan
Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau
pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan
wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari
dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari
Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa
(jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan
dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak
ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala
negara.
No comments:
Post a Comment