Friday, 22 August 2014

MENGANGKAT SEORANG WANITA SEBAGAI PEMIMPIN


Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini  sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?
Kedua, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri".
Ketiga, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)

No comments:

Post a Comment