.
Khas Untuk YB Wan Azizah dan keluarganya:
Al
Imam al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm
Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk
menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib
hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal, tidak
mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh
kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup
tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan
menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum).
Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan
untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses
pemilihan dan suksesi.
ISLAM & KEKUASAAN
Pemilihan
kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi
dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh
Islam. Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan
politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita
ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar.
Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk
tingkah laku dalam berpolitik. .
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???
- Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi
dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam
skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan
bagi manusia lainnya)
Rujukannya
lihat :
“Dan
kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami
jadikan dia berupa laki-laki.”
(QS. Al-An’aam: 9)
“Kami
tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri.”
(QS. Yusuf: 109)
“Kami
tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang
laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “ (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam
dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan
Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya
:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat
ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara
logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang
kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala
keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
- Hadits :
شرح السنة
للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي
بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan
dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa
orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak
akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada
seorang perempuan.” (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits
tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah
keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari
sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi
Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan
untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah,
keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan
ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan
semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak
menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun
juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada
hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal,
Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta.
Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah
semestinya diperbolehkan.
Ibn
Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan
ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara
mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini,
identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan
seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya,
menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi
pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis
kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan
sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’,
yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN
YANG TIMBUL …
1.
Bagaimana dengan pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
– Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan
dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan
menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan
lagi Balqis.
2.
Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
Islam tidak melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus
benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung
jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri
rapat di berbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang
tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani
suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi
para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap
kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu.
Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah
suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi
dari Ibnu Umar)
Dalam
sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka
bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan
pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah
puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti
dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama
adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah
Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah
sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
Bagaimana
bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
-
Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria,
istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu
bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya
adalah wanita ?
-
Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang
wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan
kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
- Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi
pemimpin !
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan
politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah
melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati,
gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang
diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani
perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih
banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama
melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu
alasannya. Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir
Dalam
sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka
bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan
pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah
puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti
dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama
adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah
Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah
sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
Bagaimana
bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
-
Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria,
istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu
bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya
adalah wanita ?
-
Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang
wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan
kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
- Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi
pemimpin !
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan
politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah
melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati,
gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang
diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani
perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih
banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama
melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu
alasannya. Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir
olehkah Wanita Jadi Pemimpin Menurut Islam?
.
Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal,
tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang
dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka
masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya
kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan
persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’,
kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau
melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan
suksesi.
.
ISLAM & KEKUASAAN
Pemilihan kepala negara sama artinya
dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya
harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan
antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan,
semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal
yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah
laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku
dalam berpolitik.
.
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
- Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari
pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau
tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia
lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul
sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami
beri wahyu kepada mereka. “ (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara
seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah
tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang
notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain,
maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
- Hadits :
شرح السنة للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah,
katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang
Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa
suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak
akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan
menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini,
Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut
al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang
cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan
kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai
kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan,
persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam
lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin,
baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang
membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh
jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau
berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga
sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki
pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat
bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua
hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan
fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang
wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap
orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau
persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah
laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah
saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN YANG TIMBUL …
1. Bagaimana dengan pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
– Ratu Balqis menjadi kepala
negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi
Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya,
otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
2. Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
Islam tidak melakukan
diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total,
baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan
terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di
berbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang
tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus
melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan
tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”
(QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah
pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan
diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW
mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan
umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan
pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah
Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan
konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah
istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar,
sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah sebagai pengawas dan
pengontrol pasar Madinah.
Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
- Ini terbalik, Al-Qur’an dan
Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami,
Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
- Tetap saja pada waktu
pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah
laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
- Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan politik atau
mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah melarang
perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati, gubernur,
bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang
diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani
perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama
lebih banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan
juga ulama melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin
apapun itu alasannya. Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang
Kafir, Baca tulisan saya di: http://www.nahimunkar.com/haram-hukumnya-orang-kafir-jadi-ulil-amripemimpin-muslim-2/, Semoga dapat bermanfaat, Barakallohu’ fiikum
Desa Grabag, Kab. Purworejo-Jawa Tengah.
Alfaqir ilalloh Azza wa Jalla,