Friday, 22 August 2014

APA SALAHNYA JIKA WAN AZIZAH MENJADI PEMIMPIN SEBUAH NEGERI?


 .
Khas Untuk YB Wan Azizah dan keluarganya: 

Al Imam al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi. 

ISLAM  &  KEKUASAAN 
Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam. Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.  .
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???
  • Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.”  (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “    (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
  • Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
  • “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
  • Hadits :
شرح السنة للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”   (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
 Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
                                             “Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN  YANG  TIMBUL …
1.        Bagaimana dengan pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
          – Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
2.        Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
           Islam tidak melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di berbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”  (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
  Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
 -          Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
-          Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
       -    Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati, gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu alasannya.  Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir

Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
  Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
 -          Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
-          Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
       -    Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati, gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu alasannya.  Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir

olehkah Wanita Jadi Pemimpin Menurut Islam?

Bolehkah Wanita Jadi Pemimpin Menurut Islam?
.


Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
 .

ISLAM  &  KEKUASAAN 

Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.
 .

BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???

Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
  • Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.”  (QS. Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “    (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
  • Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
  • “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
  • Hadits :

شرح السنة للبغوي (10/ 76)

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».

Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”   (HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
 Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
                                             “Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN  YANG  TIMBUL …
1.        Bagaimana dengan pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
          – Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
2.        Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
           Islam tidak melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di berbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”  (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
  Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
 -          Ini terbalik, Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
-          Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
       -    Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati, gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu alasannya.  Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir, Baca tulisan saya di: http://www.nahimunkar.com/haram-hukumnya-orang-kafir-jadi-ulil-amripemimpin-muslim-2/,  Semoga dapat bermanfaat, Barakallohu’ fiikum
Desa Grabag, Kab. Purworejo-Jawa Tengah.
Alfaqir ilalloh Azza wa Jalla,
- See more at: http://www.nahimunkar.com/bolehkah-wanita-jadi-pemimpin-menurut-islam/#sthash.xYADpZ3s.dpuf

MENGANGKAT SEORANG WANITA SEBAGAI PEMIMPIN


Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini  sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?
Kedua, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri".
Ketiga, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)

Thursday, 21 August 2014

KEJAYAAN DAP MENTARBIAH ANAK MELAYU, PAS BERSIMPNG SIUR

Masuk DAP????
Satu masa dulu kita selalu dengar dan dikejutkan dengan sikap segelintir pemimpin dan ahli DAP yang mana mereka akan menggunakan ayat Al-Quran, hadis dan sebagainya dalam ceramah ceramah mereka di hadapan orang orang Melayu Islam khususnya dari PKR dan PAS. Walaupun ada tentangan dari umat Islam lain di Malaysia, PAS pula mengambil sikap memuji kononnya itu adalah hasil daripada tarbiah mereka kepada DAP selama ini walaupun beberapa kali telah terbukti maksud yang disebutkan dengan apa yang dibaca tidak betul dan benar-benar bercanggah tapi PAS tetap mengatakan bahawa ianya betul.

Tapi kini,  senario anak-anak muda Melayu sudah mula menyertai DAP dan mereka ini datangnya dari pelbagai lapisan baik profesional atau pun tidak tetapi yang pasti mereka dilihat cukup seronok menyertai DAP biarpun mereka ini tidak punyai pengetahuan penuh mengenai parti itu. Persoalannya kini, kenapa anak-anak ini ini tidak menyertai PAS yang menggelarkan mereka adalah parti Islam, dan adakah anak-anak muda ini menolak Islam dengan cara menyertai DAP? Yang paling menyedihkan adalah ada kalangan anak muda ini bersedia mengikut amalan syirik  yang bertentangan dengan ajaran Islam hanya kerana mahu menunjukkan bahawa mereka menyokong DAP?

PAS mendakwa bahawa ahli-ahli UMNO menolak Islam kerana UMNO bergabung dengan beberapa parti lain yang mewakili bangsa masing masing seperti MCA mewakili Cina dan MIC mewakili India. Tapi dalam konteks ini, anak-anak muda Melayu yang menyertai DAP bagaimana pula kedudukannya? Atau ada agenda DAP yang tersembunyi dan diluar pengetahuan PAS yang selama menjadi parti gabungan dalam PR dilihat hanya dipergunakan untuk meraih sokongan orang Melayu? Sedar atau tak sedar, DAP kini mula menarik seberapa ramai anak-anak muda untuk menyertai mereka dan akhirnya setelah mereka merasakan bahawa parti mereka (DAP) kukuh dengan sokongan Melayu muda ini, maka PAS tidak lagi diharapkan untuk menjadi rakan mendapatkan undi Melayu yang akhirnya PAS dihumban keluar dari PR.

PAS selama menjadi salah satu gabungan PR dilihat menjadi `pak turut atau pak angguk' kepada DAP dan PKR, terakhir,  keputusan Majlis Syura tidak lagi digunapakai dalam isu Menteri Besar Selangor. Ini adalah antara bukti yang selama ini PAS tidak gah dan terlalu mempercayai DAP yang selama ini memang tidak sukakan bangsa Melayu untuk menjadi pemerintah dan kita dapat lihat apabila kumpulan Anwarinas pula yang berada didalam PAS sudah menunjukkan taringnya melebihi kuasa yang ada pada Presiden. Begitu pun ahli-ahli PAS juga dilihat seoalah-olah `tidor' dilamun mimpi. Mereka tidak lagi mahu mempertahankan ulama mereka yang selama ini dianggap sebagai penentu dunia dan akhirat?.  Pandangan dan kata-kata ulama tidak lagi mahu didengari kerana percaturan kuasa dalaman antara kumpulan anwarinas kini semakin meluas. Timbalan Presiden ke kiri sedangkan Presidennya ke kanan. Ahli dan penyokongnya sekadar terpaku bagaikan kena sihir. Apa pun, realitinya PAS cukup bersimpang siur. 

kemana arah PAS????

KOD 71- Harapan Menjadi Debu Untuk Wan Azizah




Ramai tak tahu...........
Kod 71- adalah kod Jabatan Pendataran Negara  yang menjadi garis panduan yang termaktub didalam  Perlembagaan Malaysia dimana merujuk kepada  taraf warganegara sesaorang individu itu dilakukan melalui proses “Naturalisasi” .
wan azizah8Taraf warganegara yang dikodkan 71 ini mempunyai had had  tertentu didalam politik dan undang undang tubuh sesabuah negeri di Malaysia. Kod 71 ini ditandakan didalam kad pengenalan kepada semua waraganegara proses “Naturalisasi” yang lahir di luar negara.

Kekuatan perkara diatas telah dumaktubkan  didalam Perkara 17  Perlembagaan Malaysia yang mana menyebut “Kewarganegaraan sesaorang semasa beliau sedang bermastautin di Malaysia ketika hari merdeka 31 Ogos 1957” Dengan demikian , sokongan PAS terhadap dua nama  yang dicadangkan sebagai calon yang bakal menjawat  jawatan Menteri Besar Selangor adalah pemegang kad pengenalan yang mempunyai “Kod 71” Mengikut Undang Undang Tubuh Negeri Selangor telah jelas memperuntukkan dan dinyatakan didalm perenggan yang berikut , bahawa;
Perkara 51
HANYA Sultan Selangor mempunyai KUASA untuk melantik saorang Menteri Besar.
Perkara 51(2)
Saorang Menteri Besar Hendaklah Berbangsa Melayu dan Beragama Islam
Perkara 53(3)-
Saorang MB tidak boleh dipilih dikalangan warganegara yang mendapat warganegara secara “Naturalisasi” dan juga warganegara mengikut Perkara 17 Perlembagaan Malaysia .
Undang-undang Tubuh Negeri Selangor memberikan kuasa “mengikut budi-bicara Ke Bawah Duli Tuanku Sultan Selangor” untuk melantik Menteri Besar & untuk tidak memberi perkenan membubarkan DUN 
Disini amat jelas sekali , bahawa , pencalonan Wan Azizah telah melanggar salah satu daripada  syarat yang ditetapkan didalam Undang Undang Tubuh Negeri Selangor yang mana akan meyebabkan  pencalonan tidak akan diterima walaupun dengan berlakunya pertukaran alamat tempat tinggal.
Jika ini berlaku, segala kemelut yang berlaku di Selangor selama hari ini telah dilakukan tanpa satu kajian yang mendalam terhadap perundangan tubuh sesabuah negeri oleh Pakatan Rakyat.
Apakah yang akan berlaku selepas ini? – Jika benar berlaku penolakan dan Baginda Sultan menggunakan kuasa budi bicara yang termaktub didalam Undang Undang Tubuh Negeri dalam Perkara 51 dan menggunakan Perkara 15(3) dengan berlandaskan Perlembagaan Malaysia dalam perkara 17, Maka satu protes terhadap Institusi Raja akan berlaku.
Sebagaimana berlakunya di Perak pada tahun 2009 , Sultan Perak telah diheret bersama didalam politik yang dimainkan oleh pembangkang untuk mencapai hasrat mereka tanpa mengira perundangan sesabuah negeri.
Undang Undang Tubuh dilanggar dan rakyat telah dihasut agar melakukan penentangan terhadap Raja Raja Melayu.
Akhirnya harapan Wan Azizah untuk menduduki kerusi Menteri Besar akan berkubur  dan apakah Khalid akan menerajui Negeri Selangor semula atau Pilihanraya Kecil Negeri Selangor akan dilakukan agar rakyat memilih tampok kepimpinan negeri.
Sebagaimana biasa kegagalan ini mungkin akan menjurus kepada satu demontrasi sebagaimana amalan yang dilakukan oleh Pakatan .Diwaktu ini, ketegasan perundangan Negara haruslah bersifat tegas bagi menangani manusia manusia yang berlaku derhaka terhadap Raja Raja Melayu kerana ketaksuban  politik dan kerana kegilaan kepada kuasa.
Jangan lah “pisang berbuah dua kali” – Lantaran itu seharusnya pihak keselamatan menangani isu isu yang berkaitan pendehakaan ini dengan tegas tanpa ada lagi sikap sambil lewa. Kedaulatan Raja Raja mesti dijaga sebaiknya, kerana ini merupakan benteng terakhir orang Melayu di Malaysia.

7 SIFAT CINA DAP YANG PERLU DIKETAHUI DAN DIAMATI?


BACA: KENYATAAN PENULIS CINA TERHADAP KAUM CINA DAP
MALAYSIA:

Pandangan ini adalah dari Ye Lin-Sheng yang berasal dari china tetapi seorang ahli perniagaan di Malaysia, Hong Kong dan Australia, Thailand, Singapura, Britain dan Amerika Syarikat. Beliau mempunyai banyak pengalaman yang melibatkan orang Cina DAP di negara yang disenaraikan itu. Tetapi orang Cina DAP  di Malaysialah yang paling tidak bersyukur, kejam, serta mengkhianati perjanjian ataupun dipanggil perlembagaan. Dalam buku Ye Lin-Sheng The Chinese Dilemma (East West Publishing, Australia, 2003), Ye Lin-Sheng menulis:
1. PENGIKTIRAFAN CINA DAP:"Orang Cina Malaysia mendapati mereka lebih mudah untuk menerima dominasi oleh orang-orang putih kerana mereka dapat memberi pengiktirafan terhadap kehebatan orang Barat. Tetapi Orang Cina DAP Malaysia amat susah untuk menerima kehebatan orang Melayu kerana perasaan iri hati dan hasad dengki mereka bahawa Malaysia ini milik orang Melayu. Mana mana orang Cina DAP Malaysia sama sekali tidak boleh menerima tentang konsep ketuanan Melayu, mereka percaya bahawa mereka adalah lebih baik" -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)
2. KEANGKUHAN CINA DAP:"Keangkuhan orang cina Malaysia telah membuatkan mereka sentiasa memandang rendah terhadap keupayaan orang Melayu, walhal ramai orang Melayu sebenarnya bekerja atau belajar lebih pandai dari kaum cina Malaysia ini. Perkara ini sudah lama saya perhatikan, kerana saya memiliki perniagaan di Malaysia dan telah bercampur dengan orang Cina DAP Malaysia ini. Sikap mereka suka cakap belakang dan tekan orang Melayu adalah menjadi tabiat dan budaya mereka. Mana mana orang Cina DAP Malaysia yang tidak menghina orang Melayu dikatakan kolot dan membelot bangsa cina" -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)
3. PERKAUMAN CINA DAP:"Kejayaan orang Cina DAP Malaysia hanya tercapai jika mereka dapat menindas orang Melayu dalam masa yang sama menggunakan kudrat dan kelebihan orang Melayu. Mereka juga tidak akan mengakui bahawa kepimpinan Melayu adalah sangat mahir, cekap serta bagus dalam pengurusan politik, ekonomi dan sosial. Cina DAP jarang menyifatkan kejayaan Malaysia kepada orang Melayu. Apa yang ada diminda mereka adalah semua kejayaan di Malaysia ini kerana orang Cina DAP. Sebab itu orang cina yang asal dari China tidak suka bergaul dengan cina Malaysia kerana sikap mereka yang ekstrim ini. Mereka masih lagi mengamalkan ideologi komunis" -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)4. Penghinaan orang cina DAP:"Sampai hari ini, sesetengah orang Cina DAP Malaysia masih menggunakan istilah menghina terhadap orang Melayu. Dalam dialek tertentu, orang Melayu dipanggil dengan nama yang bermakna ‘orang hutan’ atau ‘orang liar’. Maknanya, bangsa yang tidak bertamadun. Orang Cina yang memeluk Islam dikatakan ‘masuk Melayu’. Jarang ibu bapa Cina DAP membenarkan anak mereka menjadi askar atau polis kerana anggap itu kerja kotor dan eksklusif kepada kaum Melayu. Mereka sentiasa percaya bahawa budaya dan tamadun Cina DAP lebih tinggi berbanding budaya dan tamadun Melayu termasuklah penggunaan membersihkan diri menggunakan tisu dianggap lebih bertamadun. Umumnya, orang Cina DAP boleh menerima ‘ketuanan orang putih’ kerana menganggap tamadun dan budaya Barat lebih bagus, tapi tidak terhadap orang Melayu-Bumiputera." -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)
5. SIKAP PALING NEGATIF CINA DAP:"Kejayaan orang Melayu turut dipandang sinis. Ia biasanya dikaitkan dengan bantuan kerajaan atau hak istimewa yang diberi kepada mereka. Kebanyakan Cina DAP Malaysia sukar menerima hakikat kejayaan usahawan atau syarikat Melayu dimana mereka berniaga secara jujur dan bukan seperti orang cina berniaga. Jadi sebenarnya majoriti orang Melayu ada peniaga tulen yang jujur dan dicapai menerusi kerja keras mereka. Sikap sebegini sebahagiannya berpunca daripada kesukaran menerima hakikat orang Melayu lebih pandai daripada mereka dan sebahagian lagi bertujuan menunjukkan pencapaian mereka sebagai lebih hebat" -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)
6. ISU TUAN RUMAH:"Siapakah tuan rumah negara Malaysia? Ia adalah orang Melayu selaku tuan rumah , dan orang Cina dan India sebenarnya hanyalah tetamu ataupun dipanggil menumpang kerana tiada tempat.  Orang cina DAP  Malaysia sepatutnya malu kerana telah datang secara asal untuk menjadi pekerja dan selepas diberi kerakyatan akhirnya mereka hendak merampas serta menindas tuan rumah. Sudahlah mereka datang dengan jumlah yang besar serta. Jika saya (Ye Lin-Sheng, penulis Buku) adalah orang Melayu, saya tidak akan membenarkan perlembagaan dan sosial kontrak dicabar. Saya akan merasakan maruah dan penghormatan saya akan tercalar" -(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)
7. ORANG MELAYU TIDAK SEDAR DIJAJAH OLEH CINA DAP:"Tetapi itulah keistimewaan orang Melayu, mereka adalah bangsa yang bersopan santun dan seorang penyabar. Sudahlah mereka bersusah payah berjuang untuk membebaskan diri dari jajahan barat. Sekarang mereka perlu bersusah payah untuk merampas dari orang Cina DAP yang memegang ekonomi pula. Sepatutnya orang Cina DAP yang perlu berbakti kepada orang Melayu kerana sudah diberi peluang mendapat kerakyatan, tetapi saya selaku orang asal dari China berasa malu dengan sikap bangsa saya yang tinggal di Malaysia. Tidak ada perkataan yang dapat saya berikan kerana dasar orang cina terlalu keras, ekstrim serta perkauman. Kami sendiri orang yang tinggal di China tidak menerima ideologi Komunis, tetapi orang Cina DAP di Malaysia lebih selesa untuk mengamal serta menyebarkan ideologi Komunis. Sebenarnya jujur saya mengatakan orang cina Malaysia sedang menjajah orang Melayu, mereka seperti menganggap bahawa orang Melayu adalah musuh yang nyata"(Buku The Chinese Dilemma - Ye Lin-Sheng)

AHLI POLITIK PAS TIDAK PERNAH NAK SEDAR, SIAPA DIA SOKONG; SOKONGAN YANG BAKAL MEMBAWA REBAH DAN KEHANCURAN KEPADA AGAMA DAN BANGSA.